Jumat, 24 Mei 2013

buddhisme di korea, thailand dan jepang



BUDHISME DI KOREA, THAILAND DAN JEPANG

Responding Paper
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat pada
Mata Kuliah Agama Buddha

Dosen pembimbing:
Dra. Hj. Siti Nadroh, M. Ag

Oleh:
Ifa Nur Rofiqoh
(1111032100049)

UIN LOGO

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013


A.           PENDAHULUAN
Belajar Budha di luar India merupakan sebuah sejarah panjang yang sulit dijelaskan, karena dalam kenyataaanya para penyebar agama ke luar India seperti diantaranya Korea, Thailand dan Jepang tidak dapat diketahui secara pasti. Agama tersebut (Budha) tersebar dengan sendirinya melalui dinasti-dinasti yang berkuasa pada masa itu. Namun penulis dengan segala kemampuannya akan mencoba memaparkan sedikit mengenai hal tersebut berdasarkan sedikit beberapa referensi yang didapat.


B.            BUDHISME DI KOREA
Negeri Korea mulai mengenal agama Buddha pada awal abad ke-4 M. Pada masa itu semenanjung Korea terbagi dalam tiga wilayah, yakni Koguryu (di utara), Pakche (barat daya), dan Silla (tenggara). Sejarah agama Buddha di ketiga wilayah tersebut tidak sama.[1]
Agama Buddha untuk pertama kali dibawa ke Koguryo oleh seorang biksu bangsa China pada tahun 372. Dua belas tahun kemudian agama Buddha baru tiba di Pakche dan diperkenalkan oleh biksu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah wilayah terakhir yang mengenal agama Buddha, yakni sekitar 30 tahun setelah agama Buddha diperkenalkan di Koguryu.
Peranan Korea dalam sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyeberangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama Buddha. 
Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang (abad ke-1). Sebelum itu, agama Bud­dha terpisah-pisah dan terpengaruh oleh dinasti Silla serta banyak biksu pergi ke China untuk belajar agama Buddha. Beberapa di antara mereka adalah Yuan Ts'o (613-683) dari aliran Fa Sian, Yuan Hiao (617-670) dan Yi Slang (625-702) dari aliran Houa Yen. Setelah abad ke-11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristocrat dari dinasti Silla, mulai diterima oleh masyarakat umum berkat usaha-usaha yang dilakukan biksu Yi T’ien, biksu P'u Chao, dan lain-lain.[2]
Biksu Yi T'ien terkenal dengan editing katalog kitab Tripitaka China (disebut Yi T'ien Lit) setelah belajar agama Bud­dha di China dan menyebarkan pandangan aliran Houa Yen dan T'ien T'ai di Korea. Biksu Yi T'ien juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam bahasa Korea. Sedangkan biksu P'u Chao di kemudian hari memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini memegang peranan penting dalam sejarah Korea.
Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti Yuan dari kemaharajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme (Ti­bet). Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Cho­sen, Korea, maka dinasti ini menerima ajaran Kong Hu Chu dan membenamkan agama Buddha. Meski terdapat pergantian penguasa di semenanjung Korea, agama Buddha tetap bertahan karena telah merakyat.[3]
Agama Buddha pada zaman modern di Korea, sesunguhnya adalah agama Buddha Zen dengan tetap mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.
Sesuai dengan aturan baru dari Dinasti Yi dari akhir abad keempat belas sampai awal abad kedua puluh, Buddhisme kehilangan dukungan dari pengadilan ketika Konfusianisme menjadi agama resmi di negara. Tindakan yang diambil untuk menekan kegiatan komunitas Buddhis adalah bahwa Biksu Buddha dilarang untuk memasuki ibukota, tanah mereka disita, biara-biara tertutup dan upacara Budha dihapuskan.



C.           BUDHISME DI THAILAND
Manurut legenda, agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 SM. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai  abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.[4]
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet.
Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu, hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik. Dimana Raja sebagai pengawas dan pelindung dari sangha. pada masa raja  Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand  agar membersihkan sangha dari anggota-anggota yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan meditasi.
Dimasa modern, Rama IV pada tahun (1910-1925) adalah Raja Thailand  yang memberikan warna Buddhis bagi Thailand. Ia menegakkan soko-guru bagi persatuan kelangsungan dan identitas Thai, yaitu: bangsa, agama dan raja. Agama Buddha merupakan agama nasional dan sebagaian besar orang Thailand menjadi orang Thai berarti pula menjadi penganut Buddha.
Berdasarkan tiga soko-guru yang dijadikan dasar persatuan Thialand tersebut perkembangan agama Buddha berjalan dengan pesat sejalan dengan perkembangan masyarakat Thai di zaman modern. Menurut statistik kementrian pendidikan tahun 1976, 92,29% penduduk Thai menyatakan memeluk agama Budha yang sanggup membiayai 25. 702 wihara dengan 213. 175 bikkhu, 114. 792 samanera dan 10. 529 wiharawati di seluruh negeri Thai. Jumlah ini berarti bahwa disetiap “tambon”, semacam kecamatan yang membawahi sepuluh desa, rata-rata terdapat 5 buah wihara dan seorang bikkhu untuk setiap 38 pria dewasa.

D.           BUDHISME DI JEPANG
Agama Budha masuk ke Jepang pada abad ke 6. Menurut cerita raja Korea mengirimkan Kaisar Kimmei Tanno di Jepang sebuah patung Budha yang terbuat dari emas dan perunggu, beberapa Kitab Sutra, alat pemujaan, dengan disertai permintaan untuk menerima agama Budha. Kaisar mencobanya. Sekalipun pada permulaannya ada tantangan yang hebat, tetapi kemudian agama Budha dapat berkembang dengan baik.[5] Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan dan terutama para dewa mereka.[6]
Tokoh utama yang menyebarkan agama Buddha di jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi pada tahun (547-621), yang naik tahta pada tahun 593 M., yang peranannya dalam agama Budha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama  Buddha sebagai agama Negara, serta menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhisme di Jepang sampai hari ini. ia juga mengirimkan para ahli Jepang ke Kora dan cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan.  Pada tahun 607 M. ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masi berdiri hinnga sekarang.[7]
Akan tetapi, perkembangan pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut.
Di masa kekuasaan Dinasti Heien (794-1185 M) muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Budha, antara lain melalui ajaran Saicho dan Kukai.[8]
1.      Saicho, yang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Budha adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto, yang disebut Kami.
2.      Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama Budha sehingga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Budha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.
Sejak tahun 624 timbullah madzhab yang bermacam-macam di Jepang.[9] Diantaranya sebagai berikut:
-       Aliran Zen
Madzhab Ch’an di Jepang disebut dengan madzhab Zen, dan masuk di Jepang kira-kira tahun 200.
Aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat.[10]
-       Aliran Amida
Madzhab amida berkembang di Jepang seseudah tahun 950. Aliran ini Amida atau Tanah Suci mengengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah yang sederhana, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat terjadi kemelut sosial. Objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan patung Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan.[11]
-       Aliran Nichiren Sozu
Aliran ini didirikan oleh Nichiren[12]. Ajarannya bertujuan mengembalikan agama Budha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak ritualisme dan sentimentalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.[13]
Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama Yosidha Shinto. Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan buah dari semua dharma di alam ini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa setelah keshogunan dihapus pada tahun 1868 M, agama Buddha mulai kehilangan sumber keuangan dan prestasinya. Namun dalam keluwesannya agama tersebut dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari Negara.[14]

E.            KESIMPULAN
Pada intinya disetiap negara, penganut agama Budha mempunyai tradisi yang berbeda-beda, masing-masing disesuaikan dengan kebudayaan dan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Dan dalam perkembangannya, di masing-masing negara penganut agama Budha muncullah beberapa aliran yang mempunyai perspektif yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

  
F.            REFERENSI
o    Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988
o    Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta :  PT. BPK Gunung Mulia, 2010
o    Suwarto. Buddha Darma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
o    Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea. Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173





[1] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea. Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[2] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea. Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[3] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea. Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[4] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,  (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 142
[5] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Budha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), h. 98
[6] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 140
[7] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 141
[8] Ibid
[9] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Budha, h. 98
[10] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 141
[11] Ibid.
[12] Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman  Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian menjadi Hukum. Lihat Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 520-521
[13] Ibid. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 141
[14] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 142

2 komentar:

  1. Tolong, diedit kembali, kata Buddha yg seharusnya. Ada perbedaan kata Buddha dan Budha.

    BalasHapus
  2. The best online casinos in Asia | Kadangpintar
    Visit our online casino in 온카지노 Asia. Kadangpintar is the online gaming hub of the Asia Gaming Industry. We provide over 3000 slots and casino games.

    BalasHapus

Dalam rangka belajar, rasanya tak sempurna blog yang saya terbitkan tanpa adanya sekata dua kata yang dilontarkan. Kiranya pembaca dapat menambahkan kritik, saran maupun komentar untuk perbaikan selanjutnya. Terima Kasih telah di kunjungi... :-)