Jumat, 24 Mei 2013

ZEN BUDHISME



ZEN BUDHISME

Responding Paper
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat pada
Mata Kuliah Agama Buddha

Dosen pembimbing:
Dra. Hj. Siti Nadroh, M. Ag

Oleh:
Ifa Nur Rofiqoh
(1111032100049)

UIN LOGO

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.      PENDAHULUAN
Membicarakan tentang Zen dalam ajaran Buddhisme bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan Zen, merupakan ajaran tentang meditasi yang menuntut untuk dipraktikkan bukan dibicarakan atau dikaji dalam ceramah-ceramah keagamaan. Maksudnya adalah meninggalkan ketergantungan pada kata, aksara, dan bahasa dan memulai pemahaman dengan hati.

Secara Harfiah, kata Zen merupakan bahasa Jepang dari Ch’an dalam bahasa Cina. Ch’an sendiri merupakan penyebutan Dhyana dalam bahasa Cina. Jadi Zen merupakan perkembangan dari sekte Dhyana di India. Dhyana berarti meditasi. Zen Buddhisme memfokuskan dirinya pada pencapaian pencerahan (Bodhi) melalui meditasi sebagaimana yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Zen meyakini bahwa setiap manusia memiliki sifat kebuddhaan alamiah atau potensi untuk mencapai pencerahan.

B.       SEJARAH ZEN BUDHISME DAN AJARAN-AJARANNYA
Sang Buddha memberikan lebih dari tiga ratus ceramah selama empat puluh sembilan (ada yang mengatakan empat puluh lima) tahun mengajar. Ajaran Beliau yang dicatat dalam Tripitaka itu tidak terbatas. Akan tetapi, seluruh kebijaksanaan yang mendalam ini tidak memiliki hubungan dengan awal mula aliran Zen. Menurut legenda, suatu hari ketika Sang Buddha sedang mengajar di Puncak Burung Hering, ia menaiki tahta-Nya, memetik setangkai bunga, dan menunjukkannya kepada yang hadir. Tidak seorang pun memahami maknanya, kecuali Mahakasyapa, yang menanggapinya dengan tersenyum. Sang Buddha kemudian berkata, “Aku memiliki mata Dharma dari doktrin yang benar dan pikiran yang indah akan Nirvana. Bentuk yang sejati sebenarnya adalah kekosongan dan pintu Dharma yang halus. Semua ini telah aku wariskan kepada Mahakasyapa.” Kejadian ini dianggap sebagai awal mula aliran Zen.
Seperti halnya agama Budha, aliran Zen sebenarnya adalah produk India yang dilahirkan di tengah-tengah kesunyian hutan-hutan di India. Bagi orang India, meditasi ditengah-tengah kesunyian hutan itu adalah merupakan cara yang mudah dan menyenangkan agar dapat memperoleh pengertian yang benar. Dan kata Zen itu sendiri sebenarnya sama dengan arti Dyana dalam bahasa sansekerta, yang berarti “perenungan yang tenang” atau “kegiatan merenung”.[1]
Aliran Zen sudah memasuki cina pada abd ke 6 dan sudah dikenal di Jepang ada masa Nara. Tetapi pada tahun 1191 ajarannya menjadi dasar dari suatu aliran baru agama Budha di Jepang.
Aliran Zen atau Ch’an masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang mengatakan kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari ajaran Boddhidarma di Cina. Aliran Zen seringkali disebut dengan “aliran fikiran Budha” dan sangat berbeda dengan aliran-aliran lain yang ada di Jepang, dimana aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat.[2]
Di antara delapan puluh empat ribu ajaran dalam agama Buddha, Zen adalah ajaran yang sekarang ini paling digemari untuk dipelajari banyak orang. Meskipun pernah terbatas saja di wilayah timur tempat ajaran ini berasal, ajaran Zen sekarang telah menarik perhatian dan minat di wilayah barat. Sebutlah satu contoh, banyak universitas di Amerika yang telah membentuk kelompok-kelompok meditasi.
Meskipun dikatakan bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen Buddhisme:
a.         Surangama Sutra
b.        Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.         Lankavatara Sutra,
d.        Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.         Sutra Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
Zen Buddhisme menerapkan Meditasi, yaitu Samatha Bhavana dan Vipasyana Bhavana. Meditasi Zen Buddhisme, tidak dengan tata cara upacara, melainkan secara wajar dan alamiah serta tidak terikat pada posisi duduk bersila. Dalam Zen Buddhisme, bagi mereka walaupun tidak ada pendidikan formal juga akan tetap memperoleh kemajuan spiritual, dengan demikian, Buddha Dharma akan lebih mudah dipahami dan dihayati, asalkan dengan usaha yang sungguh-sungguh, tekun latihan meditasi. Maka secara filsafat Zen Buddhisme, ajaran Dharma diberikan secara langsung dari hati ke hati.
Filsafat Zen Buddhisme juga membahas tentang Sunyata. Sebagaimana dijelaskan dalam Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra, bahwa hati dan pikiran kita, janganlah terikat dengan Anitya, Dukkha, dan Anatman. Segala sesuatu yang bersyarat di alam fenomena ini tidaklah kekal atau terus berubah dan tidak pasti, demikian juga seperti perasaan dan pikiran kita, jika terikat pada perasaan dan pikiran kita, seandainya perbuatan baik yang telah dilakukan sedangkan karma baik atas perbuatan baik kita itu tidak langsung berbuah, bukankah itu akan sangat mengecewakan?[3]
Tujuan utama dari sekte Zen atau Ch’an bukanlah hanya duduk bermeditasi, melainkan membina kesadaran pada diri kita sendiri atau membuka kesadaran diri kita sendiri untuk mencapai ‘U’ (Satori). Setelah tercapainya ‘U’ (Satori) maka secara psikologi, pikiran dan batin kita telah maju dan telah bebas dari segala macam kemelekatan atau ikatan. Dia akan terus maju dan secara teologis, dapat diartikan semakin mendekati Sang Absolut. Sekte Ch’an tidak terikat pada segala macam tradisi, tata-upacara sembahyang, dan tidak terikat pada Sutra-sutra. Yang paling penting adalah bagaimana menembusi isinya dan mengenal diri sendiri secara intuisi; bagaimana merealisasikan Dharma. Dharma itu Sunyata karena itu tidak dapat jika hanya dijelaskan dengan kata-kata, hanya dengan usaha yang tekun dan waktu yang lama seseorang baru dapat merealisasikannya.[4]
Dari catatan sejarah ini, kita dapat melihat bahwa gaya aliran Zen itu sungguh unik. Inti Zen adalah bahwa ajaran ini diwariskan di luar ajaran tanpa bergantung pada bahasa lisan ataupun tulisan. Akan tetapi, tidak semua orang dapat memahami objektivitas aliran Zen, dan ini mengarah pada kesalahpengertian. Akan tetapi, ajaran Zen merupakan petunjuk untuk mencapai pencerahan pikiran dan pengamatan sifat diri. Semua ajaran itu diungkapkan menurut sifat diri seseorang dan sifat Buddha. Prinsip Zen didasarkan pada konsep bahwa “semua makhluk memiliki sifat Buddha dan setiap orang dapat menjadi Buddha.”

C.      ZEN BUDHISME DAN ALIRAN-ALIRANNYA
Terdapat beberapa aliran Zen Budhisme diantaranya adalah sebagai berikut:
RINZAI
Aliran ini didirikan oleh Eisai (114-1215), seorang pendeta Tendai,[5] Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun 1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an.
Tradisi Rinzai menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai Kebuddhaan.
Selain itu, tradisi Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement) yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious seekers).
SOTO ZEN
Tidak lama setelah Eisai mndirikan sekete Rinzai, seorang pendeta lain bernama Dogen (1200-1252) mendirikan aliran Zen yang kedua di Jepang yang diberi nama Soto Zen.[6] Dalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei.
Pada 1223, Dogen pergi ke Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching, seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran independen yang dikenal dengan Soto.
Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).” Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.
Perbedaan antara kedua sekte tersebut ialah, bahwa sekte Rinzai mempergunakan teknik-teknik tanya jawab, kriteria-kriteria sekitar tokoh-tokoh aliran Zen masa lampau, masalah-masalah teka-teki dan lain sebagainya sebagai alat bantu untuk mendapatkan pencerahan; sementara sekte Soto semata-mata memusatkan fikiran dalam kegiatan meditasi sambil duduk dalam posisi kaki bersilang.[7]


D.      KESIMPULAN
Tidak dapat di pungkiri adanya aliran didalam aliran. Sebagai salah satu contoh adalah aliran Zen yang berkembang di Jepang bercabang menjadi dua aliran yaitu Rinzai dan Soto, yang keduanya berkembang dalam arah yang berlawanan. Sekte Rinzai memperoleh pengikut dari kelas samurai yaitu golongan penguasa dan sekte Soto mendapat pengikut dari golongan rakyat biasa. Hal ini dapat diungkapkan dengan istilah rinzai shogun, soto domin, yang artinya rinzai untuk penguasa dan soto untuk petani. Namun justru Soto Zen lah yang mendapat pengikut lebih banyak dan paling aktif serta paling berpengaruh di Jepang.

E.       REFERENSI
o    Djam’annuri. Agama Jepang. Yogyakarta: PT. Bagus arafah, 1981
o    Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995



[1] Djam’annuri. Agama Jepang, (Yogyakarta: PT. Bagus arafah, 1981), h. 33
[2] Ibid
[3] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 480
[4] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, h. 483
[5] Djam’annuri. Agama Jepang, h. 33
[6] Ibid
[7] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dalam rangka belajar, rasanya tak sempurna blog yang saya terbitkan tanpa adanya sekata dua kata yang dilontarkan. Kiranya pembaca dapat menambahkan kritik, saran maupun komentar untuk perbaikan selanjutnya. Terima Kasih telah di kunjungi... :-)