BUDHISME DI KOREA, THAILAND DAN JEPANG
Responding Paper
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat pada
Mata Kuliah Agama Buddha
Dosen pembimbing:
Dra. Hj. Siti Nadroh, M. Ag
Oleh:
Ifa Nur Rofiqoh
(1111032100049)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
PENDAHULUAN
Belajar Budha di luar India merupakan sebuah sejarah panjang yang
sulit dijelaskan, karena dalam kenyataaanya para penyebar agama ke luar India
seperti diantaranya Korea, Thailand dan Jepang tidak dapat diketahui secara
pasti. Agama tersebut (Budha) tersebar dengan sendirinya melalui
dinasti-dinasti yang berkuasa pada masa itu. Namun penulis dengan segala
kemampuannya akan mencoba memaparkan sedikit mengenai hal tersebut berdasarkan
sedikit beberapa referensi yang didapat.
B.
BUDHISME DI KOREA
Negeri Korea
mulai mengenal agama Buddha pada awal abad ke-4 M. Pada masa itu semenanjung
Korea terbagi dalam tiga wilayah, yakni Koguryu (di utara), Pakche (barat daya),
dan Silla (tenggara). Sejarah agama Buddha di ketiga wilayah tersebut tidak
sama.[1]
Agama Buddha
untuk pertama kali dibawa ke Koguryo oleh seorang biksu bangsa China pada tahun 372. Dua belas tahun kemudian agama
Buddha baru tiba di Pakche dan diperkenalkan oleh biksu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah wilayah
terakhir yang mengenal agama Buddha, yakni sekitar 30 tahun setelah agama
Buddha diperkenalkan di Koguryu.
Peranan
Korea dalam sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan
penyeberangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha di
semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak
mencatat kemajuan dari ajaran agama Buddha.
Zaman
keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang
(abad ke-1). Sebelum itu, agama Buddha terpisah-pisah dan terpengaruh oleh
dinasti Silla serta banyak biksu pergi
ke China untuk belajar agama Buddha. Beberapa di antara mereka adalah Yuan Ts'o
(613-683) dari aliran Fa Sian, Yuan Hiao (617-670) dan Yi Slang (625-702) dari
aliran Houa Yen. Setelah abad ke-11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk
oleh para aristocrat dari dinasti Silla, mulai diterima oleh masyarakat umum
berkat usaha-usaha yang dilakukan biksu
Yi T’ien, biksu P'u Chao, dan
lain-lain.[2]
Biksu Yi T'ien terkenal dengan editing katalog kitab Tripitaka China (disebut Yi
T'ien Lit) setelah belajar agama Buddha di China dan menyebarkan pandangan
aliran Houa Yen dan T'ien T'ai di Korea. Biksu
Yi T'ien juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam bahasa Korea.
Sedangkan biksu P'u Chao di kemudian
hari memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini
memegang peranan penting dalam sejarah Korea.
Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung
Korea diambil alih oleh dinasti Yuan dari kemaharajaan Mongol, maka agama
Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme (Tibet). Setelah dinasti Yuan
dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Chosen, Korea, maka dinasti ini menerima
ajaran Kong Hu Chu dan membenamkan agama Buddha. Meski terdapat pergantian
penguasa di semenanjung Korea, agama Buddha tetap bertahan karena telah
merakyat.[3]
Agama Buddha
pada zaman modern di Korea, sesunguhnya adalah agama Buddha Zen dengan tetap
mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.
Sesuai dengan aturan baru dari Dinasti Yi dari
akhir abad keempat belas sampai
awal abad kedua puluh, Buddhisme
kehilangan dukungan dari pengadilan ketika Konfusianisme
menjadi agama resmi di negara. Tindakan yang
diambil untuk menekan kegiatan komunitas Buddhis adalah bahwa Biksu Buddha
dilarang untuk memasuki ibukota, tanah mereka disita,
biara-biara tertutup dan upacara Budha dihapuskan.
C.
BUDHISME DI THAILAND
Manurut legenda, agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 SM.
ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku
Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai abad ke-7 corak agama budha itu masih
berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada
abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama
yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya
unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.[4]
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang
kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah
Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet.
Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan
perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu,
hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik. Dimana Raja sebagai
pengawas dan pelindung dari sangha. pada masa raja Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan
pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand agar membersihkan sangha dari anggota-anggota
yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan
meditasi.
Dimasa modern,
Rama IV pada tahun (1910-1925) adalah Raja Thailand yang memberikan warna Buddhis bagi Thailand.
Ia menegakkan soko-guru bagi persatuan kelangsungan dan identitas Thai, yaitu:
bangsa, agama dan raja. Agama Buddha merupakan agama nasional dan sebagaian
besar orang Thailand menjadi orang Thai berarti pula menjadi penganut Buddha.
Berdasarkan
tiga soko-guru yang dijadikan dasar persatuan Thialand tersebut perkembangan
agama Buddha berjalan dengan pesat sejalan dengan perkembangan masyarakat Thai
di zaman modern. Menurut statistik kementrian pendidikan tahun 1976, 92,29%
penduduk Thai menyatakan memeluk agama Budha yang sanggup membiayai 25. 702
wihara dengan 213. 175 bikkhu, 114. 792 samanera dan 10. 529 wiharawati di
seluruh negeri Thai. Jumlah ini berarti bahwa disetiap “tambon”, semacam
kecamatan yang membawahi sepuluh desa, rata-rata terdapat 5 buah wihara dan
seorang bikkhu untuk setiap 38 pria dewasa.
D.
BUDHISME DI JEPANG
Agama Budha masuk ke Jepang pada abad ke 6. Menurut cerita raja
Korea mengirimkan Kaisar Kimmei Tanno di Jepang sebuah patung Budha yang
terbuat dari emas dan perunggu, beberapa Kitab Sutra, alat pemujaan, dengan
disertai permintaan untuk menerima agama Budha. Kaisar mencobanya. Sekalipun
pada permulaannya ada tantangan yang hebat, tetapi kemudian agama Budha dapat
berkembang dengan baik.[5]
Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap
menghina kepercayaan dan terutama para dewa mereka.[6]
Tokoh utama
yang menyebarkan agama Buddha di jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi pada
tahun (547-621), yang naik tahta pada tahun 593 M., yang peranannya dalam agama
Budha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan
agama Buddha sebagai agama Negara, serta
menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan
Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhisme
di Jepang sampai hari ini. ia juga mengirimkan para ahli Jepang ke Kora dan
cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan. Pada
tahun 607 M. ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil
tertua dan masi berdiri hinnga sekarang.[7]
Akan tetapi, perkembangan
pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena
banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk
agama tersebut.
Di masa kekuasaan Dinasti Heien (794-1185 M) muncul usaha-usaha
untuk memadukan kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Budha, antara
lain melalui ajaran Saicho dan Kukai.[8]
1.
Saicho,
yang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa
sebenarnya dewa-dewa agama Budha adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto,
yang disebut Kami.
2.
Kukai,
yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, mengajarkan bahwa dewa
tertinggi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama
Budha sehingga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Budha dengan
pemujaan terhadap agama Shinto.
Sejak tahun 624 timbullah madzhab yang bermacam-macam di Jepang.[9]
Diantaranya sebagai berikut:
-
Aliran
Zen
Madzhab Ch’an di Jepang disebut dengan madzhab Zen, dan masuk di
Jepang kira-kira tahun 200.
Aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara
langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan
hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran
ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai
pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat.[10]
-
Aliran
Amida
Madzhab amida berkembang di Jepang seseudah tahun 950. Aliran ini Amida
atau Tanah Suci mengengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah yang
sederhana, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut
Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di
kalanagan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat terjadi kemelut
sosial. Objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi
dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan patung Daiseishi
sebagai lambang kebijaksanaan.[11]
-
Aliran
Nichiren Sozu
Aliran ini didirikan oleh Nichiren[12].
Ajarannya bertujuan mengembalikan agama Budha kepada bentuknya yang murni yang
akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak
ritualisme dan sentimentalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan,
agresif, patriotis tetapi eksklusif.[13]
Selain ketiga
aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak
Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama
Yosidha Shinto. Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga
dan buah dari semua dharma di alam ini, Konfusianisme sebagai cabang
rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa setelah keshogunan dihapus
pada tahun 1868 M, agama Buddha mulai kehilangan sumber keuangan dan
prestasinya. Namun dalam keluwesannya agama tersebut dapat mengatasi kesulitan
yang dihadapinya dan menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari
Negara.[14]
E.
KESIMPULAN
Pada intinya disetiap negara, penganut agama Budha mempunyai
tradisi yang berbeda-beda, masing-masing disesuaikan dengan kebudayaan dan
kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Dan dalam perkembangannya, di
masing-masing negara penganut agama Budha muncullah beberapa aliran yang
mempunyai perspektif yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
F.
REFERENSI
o Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta : IAIN Sunana
Kalijaga Press, 1988
o
Hadiwijono,
Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta :
PT. BPK Gunung Mulia, 2010
o Suwarto. Buddha Darma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995
o Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di
Korea. Jakarta: CV.Dewi
Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[1] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea.
Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[2] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea.
Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[3] Tim Buddhakkhetta. Agama Buddha di Korea.
Jakarta: CV.Dewi Kayana Abadi. Di akses pada 08 Mei 2013 dari http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art73/baca.php?com=1&id=173
[6] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 140
[7]
Mukti Ali. Agama-Agama
di Dunia, h. 141
[8]
Ibid
[9]
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Budha, h.
98
[10]
Mukti Ali. Agama-Agama
di Dunia, h. 141
[11]
Ibid.
[12]
Pada
tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera. Beliau
dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan
keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan
mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra
Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian menjadi
Hukum. Lihat Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 520-521
[13]
Ibid. Mukti Ali. Agama-Agama
di Dunia, h. 141
[14]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 142
Tolong, diedit kembali, kata Buddha yg seharusnya. Ada perbedaan kata Buddha dan Budha.
BalasHapusThe best online casinos in Asia | Kadangpintar
BalasHapusVisit our online casino in 온카지노 Asia. Kadangpintar is the online gaming hub of the Asia Gaming Industry. We provide over 3000 slots and casino games.