Kitab Suci (Tipitaka)

I.    PENGANTAR
Dalam sebuah buku yang berjudul Wacana Buddha Dharma, Krishna Ananda Wijaya-Mukti mengutip sebuah ungkapan berikut:
“Buddha Berkata, ‘ Ananda, barangkali ada diantra engkau semua yang berfikir: Berakhirlah kata-kata Guru, kita tidak mempunyai Guru Lagi. Tetapi Ananda, jangan engkau berpendapat begitu. Dharma dan Winaya yang telah aku ajarkan dan aku nyatakan bagimu semua, itulah yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah tidak ada lagi” (D. II, 154). Dharma dan Winaya tidak lain dari kitab suci agama Buddha, yang semula disampaikan secara lisan.
Begitu mendengar Buddha meninggal dunia, seorang biku yang bernama Subhadda Tua berkata kepada teman-temannya agar jangan berduka, karena mereka terbebas dari orang yang mengekang, sehingga dapat berbuat sesuka hati. Lalu biku Mahakassapa mengajak para biku untuk membacakan Dharma dan Vinaya sebelum terdesak oleh apa yang bukan Dharma dan Bukan Vinaya (Vin. 11, 284-285.)”

Pesan Buddha sebelum paniribbana:
“Bila saya telah pergi, ajaran saya akan menjadi Guru yang membimbing kalian”
“Tahun-tahun (umur) saya kini telah matang; waktu hidup saya tersisa sebentar lagi. Saya akan segera merealisasikan Parinibbana. Kalian harus bersungguh-sungguh . Wahai para bikkhu, jagalah batin dan kebajikan suci! Siapapun yang tak kenal lelah menjalani Dhamma, akan keluar dari lingkaran kelahiran dan kematian dan akan mengakhiri Dukha.”.
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah agama.
Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’ Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan pengertian kitab suci menurut agama yang lain.
Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan, peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’, sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad, agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama Buddha yang hidup pada  abad-abad pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi, seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti ‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka . Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian disebut “Tripitaka”.
Sebegitu jauh kitab-kitab agama Buddha yang ada, baik yang tersusun sistematis, dalam bentuk asli atau terjemahan, tertulis dalam bahasa Pali, Sansekerta, Tibet dan Cina serta dalam bahasa-bahasa lain dimana agama Buddha berkembang.

II.    SEJARAH
Beberapa minggu setelah Sang Budha wafat (483 SM), seorang biksu tua yang tak disiplin bernama Subhada berkata: “janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa agung yang tidak akan lagi memberi tahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi sekarang kita dapat berbuat apapun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”(Vinaya Pitaka II, 284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan pasamuan agung (konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu Magadha, 500 orang arahat berkumpul di gua Sattapani dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Budha yang telah di edarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Y. A Ananda, siswa terdekat Sang Budha mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Budha dan Y. A Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam pasamuan agung inilah kumpulan seluruh ajaran yang kini dikenal sebgai kitab suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Budha seperti terdapat dalam kitab suci Tipitaka disebut pemelihara kemurnian ajaran sebagaimana sabda Budha yang terakhir: “Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok bikkhu yang berniat hendak mengubah vinaya. Menghadapi usaha ini, para bikkhu yang mempertahankan Dhamma-Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan pasamuan agung kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, dimana kitab suci Tipitaka (Pali) diucapkan oleh 700 orang arahat. Kelompok biksu yang memgang teguh kemurnian Dhama Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut dengan Theravada. Sedangkan kelompok biksu yang ingin mengubah vinaya menamakan diri dengan Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi madzhab Mahayana. Jadi, se-abad setelah Sang Budha Gotama wafat, agama budha terbagilah dengan dua madzhab besar.
Pamuan agung ketiga diadakan di Pattaliputta  (Patna) pada abad ketiga setelah sang Budha wafat (249 S.M) pada waktu pemerintah kaisar Asoka Wadhana. Kaisar memeluk agama Budha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran Dhamma keseluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu ribuan Biksu gadungan masuk kedalam Sangha dengan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk menahiri keadaan ini, kaisar menyelenggarakan Pasamuan Agung dan membersikan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman pada duta dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam pasamuan Agung ketiga ini seratus orang Arahat mengulang kembali pembacaan kitab suci Tipitaka selama sembilan bulan. Dari titk tolak pasamuan inilah agama Budha dapat tersebar keseluruh penjuruh dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pasamuan agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) dibawah lindungan raja Vatta (Gamanabhaya pada permulaan abad ke enam sesudah Sang Buddha wafat yaitu pada tahun 83 SM). Pada kesempatan itu kitb suci Tipitaka dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma-Vinaya.
Selanjutnya pasamuan agung kelima diadakan di Mandalay (Birma) pada permulaan abad ke-25 sesudah Sang Budha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah kitab suci Tipitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan dibukit Mandalay.
Pasamuan agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Budhis 2500 (tahun Masehi 1956). Mulai saat itu penterjemahan kitab Suci Tipitaka (Pali) mulai digiatkan ke dalam beberapa bahasa barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja kanishka dari Afganistan mengadakan pasamuan agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravada. Bertitik tolak pada pasamuan ini, agama Buddha madzhab Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Budhis dalam bahasa sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam kitab suci Tipitaka (Pali).

III.    KITAB SUCI TIPITAKA
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya .
Kitab-kitab Tipitaka Pali adalah kitab yang tertua serta terlengkap. Disamping kitab-kitab suci yang suci yang berbahasa Pali juga dijumpai kitab-kitab bukan kitab suci yang memakai bahasa Pali, misalnya : Milinda-panha, Netti-pakarana, Atakatha (komentar) karya Budhadatta tentang Tipitaka Pali, Jataka (oleh Budhaghosa atau Dhammapala kitab-kitab dari Srilanka seperti Dipavamsa, Mahavamsa, dan Culavamsa).
Kitab-kitab dalam bahasa Sansekerta baik yang asli ataupun turunan memberikan gambaran kepada kita beberapa materi (isi) yang berdiri sendiri dari mashab-mashab Hinayana dan Mahayana.

IV.    PEMBAGIAN KITAB TIPITAKA
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut (Tipitaka) dipilah menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.    Vinaya Pitaka
Winaya Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya . Kitab ini terdiri dari:
1. Kitab Sutra Vibanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai.  Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
2. Kitab Khandaka terbagi atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
3. Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

b.    Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’ . Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma) atau ajaran Buddha kepada muridnya . Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.
Kitab ini terdiri atas lima 'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu: 
1. Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga.
2.  Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta.
3. Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta.
4.  Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
5. Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab, yaitu: Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Sutta Nipata, Vimanavatthu, Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa, Patisambhidamagga, Apadana, Buddhavamsa, Cariyapitaka.

c.    Abidhamma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka . Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya .
Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
  1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
  2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya, Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
  3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
  4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya. 
  5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 
  6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
  7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
V.    SKEMA KITAB SUCI TIPITAKA
Berikut adalah skema kesimpulan dari pembagian kitab suci Tipitaka.
VI.    SIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas penulis hanya menyimpulkan beberapa poin penting diantaranya:
- Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap agama mempunyai kitab suci sebagai pedoman, terlepas itu agama teistik maupun non teistik. Sebagai contoh umat Budhis yang meyakini kitab Tipitaka sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia.
- Proses sejarah kitab Tipitaka tidak berlangsung sebentar melainkan berabad-abad lamanya yang terangkum dalam enam konsili. Yang mula-mula diwariskan secara lisan dari generasi ke genarasi berikutnya hingga terjadi penulisan pada konsili yang ke enam, juga pada akhirnya sudah banyak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.
- Tipitaka merupakan kitab suci warisan Budha Gotama kepada umatnya supaya dijadikan pegangan, pedoman, dan dijadikan guru setelah beliau wafat.

VII.    REFERENSI
  • Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983
  • Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010
  • Romdhon, dkk. Agama-Agama di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
  • Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
  • Wijaya-Mukti, Krishna. Wacana Buddha-Dharma

7 komentar:

  1. penulisannya harus Buddha tidak budha atau Budha

    BalasHapus
  2. Isi apa yg km maksud jessika??
    Bukankah artikel itu sudah sangat jelas.

    BalasHapus
  3. Isi apa yg km maksud jessika??
    Bukankah artikel itu sudah sangat jelas.

    BalasHapus
  4. Semua agama harus la kembali kepada ajaran budha..karna akar dari permalahan agama skrg ini adalah karna salah memahami isi kitab itu sendiri..yg pada akhirnya terjadi perselisiahan antar agama..sekelompok agama lain nya menyatakan agama nya la yg paling benar dan paling lengkap dan lain sebagai nya..

    BalasHapus

Dalam rangka belajar, rasanya tak sempurna blog yang saya terbitkan tanpa adanya sekata dua kata yang dilontarkan. Kiranya pembaca dapat menambahkan kritik, saran maupun komentar untuk perbaikan selanjutnya. Terima Kasih telah di kunjungi... :-)